Guru yang ‘Sabar’
Aku mau cerita tentang kisah PPL ku yangmungkin udah terjadi setahun yang lalu. Tapi setiap aku mengingat atau bahkan bercerita ma orang lain membuatku selalu tertawa dan merindukan saat-saat mengajar di SMP 8 Semarang. Sebagai gambaran aku mengambil jurusan bahasa Inggris, so otaomatis aku ngajar Bahasa Inggris bersama tiga teman sejawatku yang kebetulan teman sekelasku. Mereka adalah Galih, Fory dan Hasta. Kita berempat diberi amana untuk mengajar kelasVIII atau kelas II dengan dua guru pamong yang berbeda. Kebetulan aku satu tim dengan miss Hasta. Kita berdua di bawah ampuan Mrs. Yuni yang mengajar kelas VIII A sampai VIII E.
Cerita ini berawal ketika waktu PPL udah menginjak bulan kedua dimana saya yang tadinya mengajar dengan partner saya a.k.a Mrs. Hasta di bulan yang kedua ini sudah dilepas sendiri. Kisah ini terjadi di kelas VIII E yang notabenya anak-anaknya super duper kelewat rame tapi juga pintar-pintar. Waktu itu aku mengajar di jam terakhir yang artinya hanya tersisa sedikit tenaga untuk berjuang mencerdaskan anak bangsa. Di kelas ini ada sepasang umat manusia yang begitu menarik perhatianku sejak pertama menginjakan kaki di kelas ini. Dialah Diknas dan Gilang, partner in crime dalam setiap aksinya menggaduhkan kelas pojok lantai dua.
Siang itu aku mengajar materi listening dimana ada latihan yang fill the blanks based on the dialogue which read by the teacher. Intinya guru membacakan dialog dan murid mengisi titik-titik sesuai dengan yang dibacakan guru. Dialognya sih ga panjang panjang amat lagian kelas E adalah kelas terakhir yang mendpat bagian ini.
Lah dalah satu trouble maker kita, Diknas duduk di pojok belakang, sudah seperti biasanya sih walupun ada roling tempat duduj setiap ganti jam pelajaran tapi mereka berdua tetap aja kekeh berdua di pojok mungkin kalo ada guru aslinya mereka mau pindah. Okeh, cerita berlanjut setelah aku membacakan instruksinya dengan jelas semua murid paham dan siap mendengarkan dialog. Satu dua baris dialog dibacakan dengan siswa yang tenang memperhatikan. Di tengah-tengah dialog Diknas yang udah tau jawabanya karena LKSnya dipinjem kelas sebelumnya, nyletuk dengan menjawab titik-titik sementara murid yang lain hanya diam termangu.
Langsung saja aku sabagai guru yang take the main role in classroom menegur Diknas, “Diknas, jangan kalo menjawab cukup tulis di lembar jawabanmu”, diknas pun diam dan dialog pun dilanjutakan. Setelah beberapa saat Diknas nyletuk lagi menjawab pertanyaan dan akupun member peringatan kedua, “Diknas, kalo mau jawab begitu silahkan keluar biar temen-temenmu bisa konsentrasi mengerjakan di kelas”. Peringatan kedua ini tidak buat Diknas jera sampai dia melakuakan kesalahan yang ketiga. Dengan tegas dan penuh wibawa akupun ngomong, “Okeh Diknas ini peringatan ketiga silahkan kamu keluar kelas atu saya yang keluar, daripada kamu di dalam mengganggu teman-temanmu belajar. Ini peringatan yang terakhir untuk yang pertama ok saya maklumi, yang kedua saya kasih peringatan kartu kuning dan ini yang ketiga silahkan keluar atau gak saya yang keluar”. Dengan kata-kata itu pun kelas begitu sunyi senyap diam tak bergerak dan tampang Diknas seperti kutu kupret yang tersirang air panas begitu takut menggigil penih rasa bersalah. Tanpa sepatah kata dia tertunduk takluk dan aku terus memandang seluruh kelas seolah-olah telah mempengaruhi mereka bahwa saya bisa berubah dari guru yang sabar menjadi guru yang telah kehilangan kesabaran.
Aroma kemengangan mulai aku hirup di sekitar ruangan itu takala Diknas, sang cecunguk kecil itu, mulai melangkahakan kai tambunya keluar mengarah ke pintu dan meninggalkan kelas yang menghening karena kejadian itu. Sejurus kemudian aku memandang setiap jengkal isi kelas yang dipenuhi empat puluh kepala tak berdosa yang menanti kata-kataku selanjutnya. Disana hanya kutemukan tatapan mata penuh kebingungan apa yang terjadi. Tak tahu perasaan apa yang terlintas dibenaku, seperti mati kutu aku melihat mereka yang begitu senyap tanpa sadar pun tawaku lepas di tengah keheningan di iringi sipu malu yang melihat tampang mereka begitu ketakutan. Tanpa dikomando siswa-siswa kelaspun tertawa membahana memenuhi isi kelas.
Untuk menenangkan tawa mereka yang semakin menggila akupun menyilangkan telunjuk di depan bibirku sebagai tanda untuk menghentikan tawanya. Dan aku mulai membuka pembicaraan, “Hussssss,.jangan keras-keras tar Diknas tahu kalo ini sandiwara soalnya akugak tahan lihat wajah kalian yang menakutkan gitu. Saya malah jadi takut sendiri. Rencana mau jadi guru yang beriwibawa gagal dah”.
“Huu..Bapak ngerjain kita ya?tadi aku udah takut duluan kan Bapak gak pernah marah,” cetus siswi yang duduk di depanku yang aku lupa namanya. “sudah…sudahsebenernya Bapak mau marah tapi gak tahan nahan ketawa, kalian sih tampangnya begitu jadi pengen ketawa”, imbuhku untuk menenangkan mereka. Setelah suasana kondusif pelajaran pun dilanjutkan. Setelah latihan listening selesai aku keluar menghampiri Diknas yang sedang duduk di teras depan kelas dan menyuruh dia masuk untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Keesokan harinya akupun berbagi cerita sama teman-teman PPL di ruang transit guru PPL. Mereka pun terbahak mendengar ceritaku, “Oalah Pak, dadi wong ojo sabar-sabar melah dikerjani muride engko”, respon salah satu temen PPL ku. Setelah kejadian itu setiap aku cerita pengalamanku pasti ada pelajaran yang dapat diambil. Perlu ada kewibawaan dalam pengambilan keputusan dan tetap kosisten dengan sikap dan sifat.
Pak Cockatoos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar